Perempuan dalam Lingkaran Terorisme
by
Diary of Life
- 03:00
Belakangan ini media mulai menyoroti pergeseran peran perempuan dalam aksi teror.
Perempuan yang sebelumnya hanya digunakan sebagai penunjang dalam terorisme
kini justru terlibat aktif sebagai kombatan. Fenomena ini bukan hal baru dalam isu terorisme dunia. Vera
Zasulich menjadi salah satu bukti adanya teroris perempuan sejak tahun 1878. Ia
secara sengaja mengaku sebagai teroris setelah menembaki Gubernur St.
Petersburg, Fedor Trepov yang dinilai telah memperlakukan tahanan politik Rusia
secara tidak layak. Selain itu, Leila Khaled yang menjadi anggota Front
Pembebasan Palestina juga digadang menjadi inspirasi bagi para militan
perempuan di tahun 1970-an. Namun bagi Indonesia, aksi teror yang dilakukan oleh
perempuan menjadi catatan baru. Keterlibatan perempuan sebagai kombatan
langsung ramai muncul setelah tahun 2016. Kemunculan ini erat kaitannya dengan
pergolakan internal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).
Pada tahun 2015, Brigade
Al-Khansaa yang merupakan kelompok ISIS dengan anggota perempuan mengeluarkan
manifesto tentang kewajiban perempuan dalam aturan khilafah. Manifesto tersebut
mengatakan bahwa perempuan hanya bertugas sebagai istri dan ibu rumah tangga
serta berkewajiban untuk menyembunyikan diri. Keikutsertaan perempuan dalam
perang diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat. Konsep tentang fungsi
perempuan dalam jihad ini dibernarkan oleh ISIS melalui pemberitaannya. Majalah
utama ISIS, Dabiq, sempat membahas perempuan secara khusus dalam tulisan
berjudul “Jihad Tanpa Berjuang”. Sebagaimana diberitakan oleh Tirto.id, artikel
tersebut menuliskan bahwa senjata perempuan bukanlah senapan atau sabuk
peledak, melainkan perilaku dan pengetahuan yang baik. Bahkan, dikatakan bahwa
perempuan yang baik adalah mereka yang menjaga rumahnya. Meskipun demikian, akhir paragraf artikel tersebut
tetap menuliskan bahwa berperang menjadi penting bagi perempuan apabila musuh
sudah memasuki kediaman.
Namun, pandangan ISIS
mengenai fungsi perempuan dalam jihad mulai berubah seiring dengan melemahnya kekuatan di wilayah pusat
ISIS seperti Mosul, Irak dan Raqqa, Suriah. Juru bicara dari imam besar ISIS
mulai memberikan fatwa bahwa perempuan diperbolehkan untuk terjun langsung
melakukan jihad. Solahudin dalam acara “Short Course Penguatan Perspektif
Korban Dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media” yang diadakan oleh
Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyampaikan, fatwa inilah yang disinyalir
menjadi faktor pendorong para perempuan ISIS untuk mulai terlibat aktif dalam
aksi teror. Di Indonesia sendiri, peran aktif perempuan dalam terorisme mulai
marak setelah penangkapan Dian Yulia Novi sebagai tersangka perencanaan bom
bunuh diri di Istana Negara dan Ika Purnama Sari atas rencana pengeboman di
Bali pada tahun 2016.
Tersangka teroris perempuan
semakin bertambah seiring dengan beredarnya anjuran resmi berjihad bagi
perempuan dalam surat kabar ISIS yang terbit akhir tahun 2017. Pada bulan Mei
2018, dua perempuan bernama Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah ditangkap karena
menimbulkan kerusuhan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok. Bagi keduanya,
kerusuhan tersebut merupakan bagian dari bukti taat terhadap perintah amaliah
ISIS untuk menyerang kepolisian. Selanjutnya, Puji Kuswati menjadi salah satu
kombatan ISIS yang meledakkan bom bunuh diri di Gereja Kristen Indonesia,
Surabaya pada 13 Mei 2018 bersama dengan dua anak perempuannya yang masih di
bawah umur. Aksi teror juga dilakukan oleh Puspitasari di rusun Wonocolo,
Surabaya dan Tri Ernawati yang meledakkan diri di Polrestabes Surabaya sehari
setelahnya.
Di tahun 2019, nama-nama
perempuan kembali muncul dalam daftar panjang tersangka aksi teror. Solimah
menjadi jihadis perempuan yang meledakkan diri dengan seorang anaknya yang berusia sekitar dua tahun saat hendak ditangkap
oleh polisi. Aksi ini dilakukan setelah suaminya, Abu Hamzah ditangkap oleh
polisi. Tidak lama setelah itu, polisi berhasil menangkap dua perempuan lain
yang diduga berafiliasi dengan jaringan teroris Abu
Hamzah. Kemunculan jihadis perempuan sekaligus menunjukkan adanya perubahan
strategi ISIS dalam hal taktis. Secara garis besar, ada beberapa faktor utama
yang disinyalir menjadi alasan ISIS untuk mulai melibatkan perempuan secara
aktif dalam aksi teror, seperti keamanan, provokasi dan publisitas.
Dalam kaitannya dengan faktor
keamanan, perempuan dinilai bisa lebih mudah dalam mengelabuhi dan menghindari
pemeriksaan petugas keamanan. Pandangan atau stigma yang ada pada perempuan
dianggap akan membuat penegak hukum lengah dalam melakukan deteksi dini keterlibatan
perempuan dalam aksi teror. Jika hal tersebut benar, maka aksi teror yang
dilakukan oleh perempuan akan memiliki persentase keberhasilan yang lebih besar
dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan alasan provokasi dimaksudkan untuk
lebih mendorong jihad di golongan laki-laki. Keberadaan jihadis perempuan akan
mampu mempengaruhi laki-laki untuk lebih agresif lagi dalam melakukan aksi
teror sebagai bentuk jihad. Dengan adanya konsep mengenai laki-laki sebagai
imam yang harus selalu lebih unggul daripada perempuan membuat jihadis
perempuan sangat efektif untuk meningkatkan semangat pejihad laki-laki.
Faktor selanjutnya adalah
publisitas, yang memiliki hubungan erat dengan peran media. Aksi pengeboman
yang dilakukan oleh perempuan juga dianggap menjadi cara yang mudah untuk
menarik perhatian media. Minimnya keterlibatan aktif perempuan dalam aksi teror
akan menjadikannya sebagai highlight dalam pemberitaan, baik skala nasional
ataupun internasional. Jihadis perempuan akan membuat media terfokus dalam pemberitaan
terkait dengan pelaku. Peliputan media tentang pelaku yang tidak mungkin
dipisahkan dengan kelompok afiliasinya akan semakin meningkatkan popularitas
jaringan terorisme. Padahal, publisitas seperti ini justru menjadi tujuan dari
kelompok jaringan terorisme karena dianggap menguntungkan dalam perekrutan.
Lebih jauh lagi, pemberitaan media bahkan mampu dijadikan sebagai alat
komunikasi bagi jaringan terorisme.
Beberapa faktor di atas menunjukkan meningkatnya
peran perempuan dalam terorisme yang sekaligus menuntut adanya strategi baru
dalam counter-terrorism. Perempuan harus mulai dilibatkan secara aktif
dalam melawan terorisme. Strategi semacam ini menjadi penting karena perempuan
dianggap mampu lebih akurat dalam mendeteksi jihadis perempuan. Hal ini sudah
dilakukan oleh Civilian Joint Taskforce (C-JTF), kelompok milisi sipil untuk
melawan Boko Haram. Komi Kaje merupakan salah satu korban tidak langsung yang
memutuskan untuk bergabung dengan kelompok tersebut. Kaje menjelaskan bahwa
kelompok radikal menggunakan banyak perempuan untuk melakukan pertempuran perang,
sehingga perempuan dibutuhkan untuk menjalankan strategi perlawanan. Strategi
ini dilakukan dengan menempatkan perempuan pada target lokasi yang sudah
terdeteksi. Perempuan kemudian akan ditugaskan oleh intelijen untuk mendeteksi
jihadis perempuan yang akan melakukan bom bunuh diri di tengah keramaian.